Assalamu'alaikum Wr. Wb.- Selamat Datang Di Situs Resmi Kami

Rabu, 20 November 2013

NIKAH SIRRI

HUKUM NIKAH SIRRI

Salah satu tantangan bagi Kantor Urusan Agama sebagai pencatat pernikahan di tanah air adalah masih adanya masyarakat yang melakukan nikah kontrak dan pernikahan dibawah tangan alias nikah sirri. Sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai buku nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Menurut Drs Zamhari Hasan MM, (Widyaiswara Utama Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan Departemen Agama RI) pernikahan sirri biasanya terjadi untuk nikah kedua dan seterusnya, karena untuk mendapatkan izin dari isteri pertama sangat sulit. "Pernikahan seperti ini jelas tidak punya kepastian hukum atau tidak punya kekuatan hukum yang paling dirugikan adalah wanita," ujarnya.


Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari'at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i'lanun-nikah dalam bentuk walimatul-'ursy atau dalam bentuk yang lain.

Yang dipersoalkan adalah apakah pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.

Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selengkapnya lihat disini) dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Nikah Tidak Dicatatkan Rugikan Istri dan Anak




Fenomena pernikahan yang tidak dicatatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) masih banyak terjadi di Indonesia. Padahal, pernikahan model seperti itu justru akan merugikan hak perempuan dan anak. Menurut Ketua Umum Ikatan Da'i Indonesia (IKADI), Prof Dr KH Ahmad Satori Ismail, pernikahan yang tidak dicatatkan akan sangat merugikan pihak istri dan anak. Terlebih jika suami meninggal dunia. "Hak-hak istri dan anak menjadi terancam," kata Satori kepada Republika, Rabu (27/2). Menurut Satori, penyebab nikah tidak dicatatkan karena pernikahannya tidak diketahui banyak pihak. Biasanya, kata Satori, ada sebagian orang takut mencatatkan nikah karena takut ketahuan istri pertama. Atau, takut pasangan nikahnya masih di bawah umur. "Ada juga kelompok yang merasa pencatatan tidak wajib," kata Satori menjelaskan. Kelompok ini, kata doktor dari universitas Islam Madinah Arab Saudi ini, menganggap Indonesia bukan berdasar pada Alquran. ''Jadi tidak wajib untuk diikuti. Sebab, di dalam syarat dan rukun nikah, tidak perlu adannya pencatatan.'' Melihat dampak negatif bagi perempuan dan anak, tegas Satori, di Indonesia menjadi sebuah kewajiban bagi setiap pasangan untuk mencatatkan pernikahannya. ''Masyarakat Indonesia sangat heterogen dan kita tinggal di dalamnya,'' katanya menambahkan. Sumber : http://www.republika.co.id

Selasa, 19 November 2013

Prosedur Wakaf (AIW/APAIW )

 

“ Bingung Sama Pembuatan Sertifikat tanah Wakaf (AIW/APAIW )…??? ” 

Sebelumnya tau gak sih cara pembuatan sertifikat tanah wakaf Akta Ikrar Wakaf (AIW)/Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (APAIW)..??? atau harus kemana bikinnya…???☺☺
Nah,, Sekarang Jangan Bingung Lagi harus pergi ke mana,, cukup datang ke KUA Setempat,, tentunya membawa persyaratan seperti ini saja kox,, simak iaa poin-poinnya:

1. Cukup bawa Sertifikat Hak Atas Tanah, ini bagi yang sudah memiliki sertifikat, nah kalau yang belum bersertifikat bawa surat-surat pemilikan tanah tentunya sudah termasuk surat seperti; pemindahan hak, surat keterangan warisan, girik dll

Senin, 18 November 2013

PROSEDUR NIKAH

A. Catin laki-laki
  1. Surat Keterangan Untuk Menikah (Model N1)
  2. Surat Keterangan Asal-Usul (Model N2)
  3. Surat Persetujuan Calon Mempelai (Model N3)
  4. Surat Keterangan Orang Tua (Model N4)
  5. Surat Keterangan persetujuan orang tua (Model N5) bagi Catin yang berusia kurang dari usia21 tahun pada tanggal pernikahan
  6. Surat Keterangan Kematian Istri (Model N6) bagi Duda Mati
  7. Disertai berkas pendukung:

Minggu, 17 November 2013

ANJURAN MENIKAH


Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan pernikahan, mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (meminang), cara mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah (memberi nafqah), dan pembagian harta waris, semuanya telah diatur dalam Islam secara terperinci, dan detail. selanjutnya untuk memahami konsep pernikahan dalam islam, maka rujukan yang paling benar dan sah adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih. maka berdasarkan rujukan ini kita akan memperoleh kejelasan tentang aspek-aspek pernikahan, maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai pernikahan yang terjadi di dalam masyarakat kita.