Salah satu tantangan bagi Kantor Urusan Agama sebagai pencatat pernikahan di tanah air adalah masih adanya masyarakat yang melakukan nikah kontrak dan pernikahan dibawah tangan alias nikah sirri. Sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai buku nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Menurut Drs Zamhari Hasan MM, (Widyaiswara Utama Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan Departemen Agama RI) pernikahan sirri
biasanya terjadi untuk nikah kedua dan seterusnya, karena untuk
mendapatkan izin dari isteri pertama sangat sulit. "Pernikahan seperti
ini jelas tidak punya kepastian hukum atau tidak punya kekuatan hukum
yang paling dirugikan adalah wanita," ujarnya.
Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan
memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam
Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu
berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa
dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu pernikahan yang memenuhi
unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari'at,
yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab
qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan
oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan
atau tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada
khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada
i'lanun-nikah dalam bentuk walimatul-'ursy atau dalam bentuk yang lain.
Yang dipersoalkan adalah apakah pernikahan yang dirahasiakan,
tidak diketahui oleh orang lain sah atau tidak, karena nikahnya itu
sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Adapun nikah sirri yang
dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang
dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi,
tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat
resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan
Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang
tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta
Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di
kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal
juga dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.
Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul
setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selengkapnya lihat disini)
dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai
pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan
tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan
menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar